Iman Bisa Bertambah, Bisa Berkurang

Dasar Al-qur'an dan Hadist:


Sabda Nabi SAW,

“Islam itu didirikan atas lima perkara.”[1] Iman itu adalah ucapan dan perbuatan. Ia dapat bertambah dan dapat pula berkurang.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

“Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)” (al-Fath: 4),

“Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.”(Al-Kahfi: 13),

“Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (Maryam: 76),

“Orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya” (Muhammad: 17),

“Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya” (Al-Muddatstsir: 31),

“Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya.” (At-Taubah: 124),

“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, maka perkataan itu menambah keimanan mereka.” (Ali Imran: 173),

dan “Yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan (kepada Allah).” (Al-Ahzab: 22)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mencintai karena Allah dan membenci karena Allah adalah sebagian dari keimanan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yang sedikit ini, dengan memohon Taufik dan 'inayah Nya, Semoga Bermanfaat (^^,)

Source: Mutiara Iman

8 Macam Puasa Sunah

8 macam puasa sunnah yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.

Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ


“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).

Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun).[1] Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ


“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).

8 Macam Puasa Sunnah



  1. Puasa Senin Kamis

  2. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah

  3. Puasa Daud

  4. Puasa di Bulan Sya’ban

  5. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

  6. Puasa di Awal Dzulhijah

  7. Puasa ‘Arofah

  8. Puasa ‘Asyura



Keterangan (Al-Hadist)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Puasa Senin Kamis

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ


“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)

2. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah

Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ


“Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”( HR. Bukhari no. 1178)

Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,

كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ


“Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)

Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.[2] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).

Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ


“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)

3. Puasa Daud

Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا


“Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)

Dari 'Abdullah bin 'Amru radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنِّى أَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أَنْتَ الَّذِى تَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ » قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ . قَالَ « إِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ » . فَقُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ » . قَالَ قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا ، وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ ، وَهْوَ عَدْلُ الصِّيَامِ » . قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ » .


Disampaikan kabar kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa aku berkata; "Demi Allah, sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya ('Abdullah bin 'Amru): "Benarkah kamu yang berkata; "Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku pasti akan shalat malam sepanjang hidupku?". Kujawab; "Demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya". Maka Beliau berkata: "Sungguh kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah dan berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan berpuasalah selama tiga hari dalam setiap bulan karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu seperti puasa sepanjang tahun." Aku katakan; "Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah". Beliau berkata: "Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah selama dua hari". Aku katakan lagi: "Sungguh aku mampu yang lebih dari itu". Beliau berkata: "Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud 'alaihi salam yang merupakan puasa yang paling utama". Aku katakan lagi: "Sungguh aku mampu yang lebih dari itu". Maka beliau bersabda: "Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu". (HR. Bukhari no. 3418 dan Muslim no. 1159)

Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari melakukan puasa lebih dari puasa Daud yaitu sehari puasa sehari tidak.”[3]

Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Puasa seperti puasa Daud, sehari berpuasa sehari tidak adalah lebih afdhol dari puasa yang dilakukan terus menerus (setiap harinya).”[4]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. ... Wallahul Muwaffiq.”[5]

4. Puasa di Bulan Sya’ban

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156).

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)

Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya[6]) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[7] Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[8]

5. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ


“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

6. Puasa di Awal Dzulhijah

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».


"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[9] Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[10], ...” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).

7. Puasa ‘Arofah

Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ


“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).

8. Puasa ‘Asyura

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ


“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[11]

Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.


“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).

Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah

Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.


“Pada suatu hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Kami menjawab, "Tidak ada." Beliau berkata, "Kalau begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju)." Maka beliau pun berkata, "Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa." (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”

Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.[12]

Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ


“Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[13] Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.”[14]

Semoga Allah beri taufik untuk beramal sholih.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel: www.rumaysho.com ditulis ulang GrobakHati dengan sedikit perubahan format.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

[1] Lihat Al furqon baina awliyair rohman wa awliyaisy syaithon, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 51, Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1424 H.

[2] Hari ini disebut dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14, dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu.

[3] Al Muhalla, Ibnu Hazm, 7/13, Mawqi’ Ya’sub

[4] ‘Aunul Ma’bud, 5/303, Mawqi’ Al Islam

[5] Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 3/470, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1424 H

[6] Karena kadang kata seluruh (kullu) dalam bahasa Arab bermakna mayoritas.

[7] Lihat Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 4/621, Idarotuth Thob’ah Al Muniroh.

[8] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 8/37, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.

[9] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.

[10] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.

[11] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/55.

[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.

[13] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/115.

[14] Idem.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bila Al Qur'an Bisa Bicara

Waktu engkau masih kanak-kanak, kau laksana kawan sejatiku Dengan wudu’ aku kau sentuh dalam keadaan suci Aku kau pegang, kau junjung dan kau pelajari Aku engkau baca dengan suara lirih ataupun keras setiap hari
Setelah usai engkaupun selalu menciumku mesra Sekarang engkau telah dewasa…
Nampaknya kau sudah tak berminat lagi padaku…
Apakah aku bacaan usang yang tinggal sejarah…
Menurutmu barangkali aku bacaan yang tidak menambah pengetahuanmu
Atau menurutmu aku hanya untuk anak kecil yang belajar mengaji saja?
Sekarang aku engkau simpan rapi sekali hingga kadang engkau lupa dimana menyimpannya.
Aku sudah engkau anggap hanya sebagai perhiasan rumahmu.
Kadang kala aku dijadikan mas kawin agar engkau dianggap bertaqwa.
Atau aku kau buat penangkal untuk menakuti hantu dan syetan.
Kini aku lebih banyak tersingkir, dibiarkan dalam kesendirian
dalam kesepian.

Di atas lemari, di dalam laci, aku engkau pendamkan.
Dulu…pagi-pagi…surah-surah yang ada padaku engkau baca beberapa halaman.
Sore harinya aku kau baca beramai- ramai bersama temanmu di surau…..
Sekarang… pagi-pagi sambil minum kopi…engkau baca Koran pagi atau nonton berita TV.
Waktu senggang..engkau sempatkan membaca buku karangan manusia.
Sedangkan aku yang berisi ayat-ayat yang datang dari Allah Yang Maha Perkasa.
Engkau campakkan, engkau abaikan dan engkau lupakan…
Waktu berangkat kerjapun kadang engkau lupa baca pembuka surah2ku Basmalah).
Diperjalanan engkau lebih asyik menikmati musik duniawi.
Tidak ada kaset yang berisi ayat Alloh yang terdapat padaku di laci mobilmu.
Sepanjang perjalanan radiomu selalu tertuju ke stasiun radio favoritmu.
Aku tahu kalau itu bukan Stasiun Radio yang senantiasa melantunkan ayatku
Di meja kerjamu tidak ada aku untuk kau baca sebelum kau mulai kerja.
Di Komputermu pun kau putar musik favoritmu.

Jarang sekali engkau putar ayat-ayatku melantun. E-mail temanmu yang ada ayat- ayatkupun kadang kau abaikan. Engkau terlalu sibuk dengan urusan duniamu.
Benarlah dugaanku bahwa engkau kini sudah benar-benar melupakanku. Bila malam tiba engkau tahan nongkrong berjam-jam di depan TV. Menonton pertandingan Liga Bola Dunia , musik atau Film dan Sinetron laga. Di depan komputer berjam-jam engkau betah duduk.

Hanya sekedar membaca berita murahan dan gambar sampah. Waktupun cepat berlalu…aku menjadi semakin kusam dalam lemari. Mengumpul debu dilapisi abu dan mungkin dimakan kutu. Seingatku hanya awal Ramadhan engkau membacaku kembali Itupun hanya beberapa lembar dariku.
Dengan suara dan lafadz yang tidak semerdu dulu. Engkaupun kini terbata-bata dan kurang lancar lagi setiap membacaku.

Apakah Koran, TV, radio , komputer, dapat memberimu pertolongan ?
Bila engkau di kubur sendirian menunggu sampai kiamat tiba. Engkau akan diperiksa oleh para malaikat suruhanNya. Hanya dengan ayat-ayat Allah yang ada padaku engkau dapat selamat melaluinya. Sekarang engkau begitu enteng membuang waktumu…

Setiap saat berlalu…kuranglah jatah umurmu…
Dan akhirnya kubur sentiasa menunggu kedatanganmu..
Engkau bisa kembali kepada Tuhanmu sewaktu-waktu Apabila malaikat maut mengetuk pintu rumahmu. Bila aku engkau baca selalu dan engkau hayati
Di kuburmu nanti….

Aku akan datang sebagai pemuda gagah nan tampan. Yang akan membantu engkau membela diri. Bukan koran yang engkau baca yang akan membantumu.
Dari perjalanan di alam akhirat. Tapi Akulah “Qur’an” kitab sucimu. Yang senantiasa setia menemani dan melindungimu. Peganglah aku lagi . .. bacalah kembali aku setiap hari. Karena ayat-ayat yang ada padaku adalah ayat suci.

Yang berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Yang disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad Rasulullah.
Keluarkanlah segera aku dari lemari atau lacimu…
Jangan lupa bawa kaset yang ada ayatku dalam laci mobilmu. Letakkan aku selalu di depan meja kerjamu. Agar engkau senantiasa mengingat Tuhanmu. Sentuhilah aku kembali…
Baca dan pelajari lagi aku….
Setiap datangnya pagi dan sore hari. Seperti dulu….dulu sekali…
Waktu engkau masih kecil , lugu dan polos… Di surau kecil kampungmu yang damai Jangan aku engkau biarkan sendiri…. Dalam bisu dan sepi….
Maha benar Allah, yang Maha perkasa lagi.

Source: milist surau

10 Hal Yang Mendatangkan Cinta Allah

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Saudaraku, sungguh setiap orang pasti ingin mendapatkan kecintaan Allah. Lalu bagaimanakah cara cara untuk mendapatkan kecintaan tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa hal untuk mendapatkan maksud tadi dalam kitab beliau Madarijus Salikin.

Pertama, membaca Al Qur’an dengan merenungi dan memahami maknanya. Hal ini bisa dilakukan sebagaimana seseorang memahami sebuah buku yaitu dia menghafal dan harus mendapat penjelasan terhadap isi buku tersebut. Ini semua dilakukan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh si penulis buku. [Maka begitu pula yang dapat dilakukan terhadap Al Qur’an, pen]

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah yang sunnah, setelah mengerjakan ibadah yang wajib. Dengan inilah seseorang akan mencapai tingkat yang lebih mulia yaitu menjadi orang yang mendapatkan kecintaan Allah dan bukan hanya sekedar menjadi seorang pecinta.

Ketiga, terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dengan hati dan lisan atau dengan amalan dan keadaan dirinya. Ingatlah, kecintaan pada Allah akan diperoleh sekadar dengan keadaan dzikir kepada-Nya.

Keempat, lebih mendahulukan kecintaan pada Allah daripada kecintaan pada dirinya sendiri ketika dia dikuasai hawa nafsunya. Begitu pula dia selalu ingin meningkatkan kecintaan kepada-Nya, walaupun harus menempuh berbagai kesulitan.

Kelima, merenungi, memperhatikan dan mengenal kebesaran nama dan sifat Allah. Begitu pula hatinya selalu berusaha memikirkan nama dan sifat Allah tersebut berulang kali. Barangsiapa mengenal Allah dengan benar melalui nama, sifat dan perbuatan-Nya, maka dia pasti mencintai Allah. Oleh karena itu, mu’athilah, fir’auniyah, jahmiyah (yang kesemuanya keliru dalam memahami nama dan sifat Allah), jalan mereka dalam mengenal Allah telah terputus (karena mereka menolak nama dan sifat Allah tersebut).

Keenam, memperhatikan kebaikan, nikmat dan karunia Allah yang telah Dia berikan kepada kita, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah faktor yang mendorong untuk mencintai-Nya.

Ketujuh, -inilah yang begitu istimewa- yaitu menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah dengan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Kedelapan, menyendiri dengan Allah di saat Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir untuk beribadah dan bermunajat kepada-Nya serta membaca kalam-Nya (Al Qur’an). Kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat kepada-Nya.

Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang mencintai Allah dan bersama para shidiqin. Kemudian memetik perkataan mereka yang seperti buah yang begitu nikmat. Kemudian dia pun tidaklah mengeluarkan kata-kata kecuali apabila jelas maslahatnya dan diketahui bahwa dengan perkataan tersebut akan menambah kemanfaatan baginya dan juga bagi orang lain.

Kesepuluh, menjauhi segala sebab yang dapat mengahalangi antara dirinya dan Allah Ta'ala.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semoga kita senantiasa mendapatkan kecintaan Allah, itulah yang seharusnya dicari setiap hamba dalam setiap detak jantung dan setiap nafasnya. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa kunci untuk mendapatkan itu semua adalah dengan mempersiapkan jiwa (hati) dan membuka mata hati.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Semoga Bermanfaat


Sumber: Madaarijus Saalikin, 3/ 16-17, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Darul Hadits Al Qohiroh

Amalan Sedikit, Namun Kontinu

Pada kesempatan kali ini, kami akan mengangkat pembahasan yang cukup menarik yaitu bagaimana seharusnya kita beramal. Apakah amalan kita haruslah banyak? Ataukah lebih baik amalan kita itu rutin walaupun sedikit? Itulah yang akan kami ketengahkan ke hadapan pembaca pada tulisan yang sederhana ini. Hanya Allah yang senantiasa memberi segala kemudahan.

Rajin Ibadah Janganlah Sesaat

Wahai saudaraku … Perlu diketahui bahwa ibadah tidak semestinya dilakukan hanya sesaat di suatu waktu. Seperti ini bukanlah perilaku yang baik. Para ulama pun sampai mengeluarkan kata-kata pedas terhadap orang yang rajin shalat –misalnya- hanya pada bulan Ramadhan saja. Sedangkan pada bulan-bulan lainnya amalan tersebut ditinggalkan. Para ulama kadang mengatakan, “Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun”. Ibadah bukan hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja. Sebaik-baik ibadah adalah yang dilakukan sepanjang tahun.

Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan, sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Ramadhan saja.[1]

Begitu pula amalan suri tauladan kita –Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam- adalah amalan yang rutin dan bukan musiman pada waktu atau bulan tertentu. Itulah yang beliau contohkan kepada kita. ’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً


”Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”[2]

Tanda Diterimanya Suatu Amalan

Saudaraku ... Perlulah engkau ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila amalan tersebut membuahkan amalan ketaatan berikutnya. Di antara bentuknya adalah apabila amalan tersebut dilakukan secara kontinu (rutin). Sebaliknya tanda tertolaknya suatu amalan (alias tidak diterima), apabila amalan tersebut malah membuahkan kejelekan setelah itu. Cobalah kita simak ungkapan para ulama yang mendalam ilmunya mengenai hal ini.

Sebagian ulama salaf mengatakan,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا


“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”[3]

Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan membawakan perkataan salaf lainnya, ”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan, namun malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”[4]

Pentingnya Beramal Kontinu (Rutin), Walaupun Sedikit

Di antara keunggulan suatu amalan dari amalan lainnya adalah amalan yang rutin (kontinu) dilakukan. Amalan yang kontinu –walaupun sedikit- itu akan mengungguli amalan yang tidak rutin –meskipun jumlahnya banyak-. Amalan inilah yang lebih dicintai oleh Allah Ta’ala. Di antara dasar dari hal ini adalah dalil-dalil berikut.

Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ


”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [5]

Dari ’Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah. Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab,

أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ


”Amalan yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.”[6]

’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul Mukminin, bagaimanakah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam beramal? Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَطِيعُ


”Tidak. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di antara kalian pasti mampu melakukan yang beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan.”[7]

Di antaranya lagi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam contohkan dalam amalan shalat malam. Pada amalan yang satu ini, beliau menganjurkan agar mencoba untuk merutinkannya. Dari ’Aisyah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ


”Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.”[8]

Keterangan Ulama Mengenai Amalan yang Kontinu

Mengenai hadits-hadits yang kami kemukakan di atas telah dijelaskan maksudnya oleh ahli ilmu sebagai berikut.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita bisa pertengahan dalam melakukan amalan dan berusaha melakukan suatu amalan sesuai dengan kemampuan. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang rutin dilakukan walaupun itu sedikit.”

Beliau pun menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah amalan yang terus menerus dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.”[9] Yaitu Ibnu ’Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ


“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” [10]

Para salaf pun mencontohkan dalam beramal agar bisa dikontinukan.

Al Qosim bin Muhammad mengatakan bahwa ’Aisyah ketika melakukan suatu amalan, beliau selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [11]

Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Wahai kaum muslimin, rutinlah dalam beramal, rutinlah dalam beramal. Ingatlah! Allah tidaklah menjadikan akhir dari seseorang beramal selain kematiannya.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, ”Jika syaithon melihatmu kontinu dalam melakukan amalan ketaatan, dia pun akan menjauhimu. Namun jika syaithon melihatmu beramal kemudian engkau meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaithon pun akan semakin tamak untuk menggodamu.”[12]

Maka dari penjelasan ini menunjukkan dianjurkannya merutinkan amalan yang biasa dilakukan, jangan sampai ditinggalkan begitu saja dan menunjukkan pula dilarangnya memutuskan suatu amalan meskipun itu amalan yang hukumnya sunnah.

Hikmah Mengapa Mesti Merutinkan Amalan

Pertama, melakukan amalan yang sedikit namun kontinu akan membuat amalan tersebut langgeng, artinya akan terus tetap ada.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun rutin dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit yang rutin dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[13]

Kedua, amalan yang kontinu akan terus mendapat pahala. Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja –meskipun jumlahnya banyak-, maka ganjarannya akan terhenti pada waktu dia beramal. Bayangkan jika amalan tersebut dilakukan terus menerus, maka pahalanya akan terus ada walaupun amalan yang dilakukan sedikit.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Sesungguhnya seorang hamba hanyalah akan diberi balasan sesuai amalan yang ia lakukan. Barangsiapa meninggalkan suatu amalan -bukan karena udzur syar’i seperti sakit, bersafar, atau dalam keadaan lemah di usia senja-, maka akan terputus darinya pahala dan ganjaran jika ia meninggalkan amalan tersebut.”[14] Namun perlu diketahui bahwa apabila seseorang meninggalkan amalan sholih yang biasa dia rutinkan karena alasan sakit, sudah tidak mampu lagi melakukannya, dalam keadaan bersafar atau udzur syar’i lainnya, maka dia akan tetap memperoleh ganjarannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا


“Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.”[15]

Ketiga, amalan yang sedikit tetapi kontinu akan mencegah masuknya virus ”futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit. Kadang kita memang mengalami masa semangat dan kadang pula futur (malas) beramal. Sehingga agar amalan kita terus menerus ada pada masa-masa tersebut, maka dianjurkanlah kita beramal yang rutin walaupun itu sedikit.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ


”Setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.”[16]

Apabila seorang hamba berhenti dari amalan rutinnya, malaikat pun akan berhenti membangunkan baginya bangunan di surga disebabkan amalan yang cuma sesaat.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya bangunan di surga dibangun oleh para Malaikat disebabkan amalan dzikir yang terus dilakukan. Apabila seorang hamba mengalami rasa jenuh untuk berdzikir, maka malaikat pun akan berhenti dari pekerjaannya tadi. Lantas malaikat pun mengatakan, ”Apa yang terjadi padamu, wahai fulan?” Sebab malaikat bisa menghentikan pekerjaan mereka karena orang yang berdzikir tadi mengalami kefuturan (kemalasan) dalam beramal.”

Oleh karena itu, ingatlah perkataan Ibnu Rajab Al Hambali, ”Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara kontinu (terus menerus). Allah akan memberi ganjaran pada amalan yang dilakukan secara kontinu berbeda halnya dengan orang yang melakukan amalan sesekali saja.”[17]

Apakah Kontinuitas Perlu Ada dalam Setiap Amalan?

Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhohullah mengatakan, ”Tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, perlu kiranya kita melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hal ini.”[18]

Untuk mengetahui manakah amalan yang mesti dirutinkan, dapat kita lihat pada tiga jenis amalan berikut.

Pertama, amalan yang bisa dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian) dan ketika bersafar.

Contohnya adalah puasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H), shalat sunnah qobliyah shubuh (shalat sunnah fajar), shalat malam (tahajud), dan shalat witir. Amalan-amalan seperti ini tidaklah ditinggalkan meskipun dalam keadaan bersafar.

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H) baik dalam keadaan mukim (tidak bersafar) maupun dalam keadaan bersafar.”[19]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.”[20]

Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan qiyamul lail (shalat malam) baik ketika mukim maupun ketika bersafar.”[21]

Kedua, amalan yang dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian), bukan ketika safar.

Contohnya adalah shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah qobliyah shubuh sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim pada perkataan yang telah lewat.

Ketiga, amalan yang kadang dikerjakan pada suatu waktu dan kadang pula ditinggalkan.

Contohnya adalah puasa selain hari Senin dan Kamis. Puasa pada selain dua hari tadi boleh dilakukan kadang-kadang, misalnya saja berpuasa pada hari selasa atau rabu.

Intinya, tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, itu semua melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.

Penutup

Ketika ajal menjemput, barulah amalan seseorang berakhir. Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ


”Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[22] Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[23]

Ibadah seharusnya tidak ditinggalkan ketika dalam keadaan lapang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ


“Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” [24]

Semoga Allah menganugerahi kita amalan-amalan yang selalu dicintai oleh-Nya. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel: rumaysho.com

[1] Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 396-400, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]

[2] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783

[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail]

[4] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.

[5] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.

[6] HR. Muslim no. 782

[7] HR. Muslim no. 783

[8] HR. Muslim no. 782

[9] Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84, Asy Syamilah

[10] HR. Bukhari no. 1152

[11] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.

[12] Al Mahjah fii Sayrid Duljah, Ibnu Rajab, hal. 71. Dinukil dari Tajriidul Ittiba’ fii Bayaani Asbaabi Tafadhulil A’mal, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 86, Daar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1428 H.

[13] Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 3/133, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[14] Lihat Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84

[15] HR. Bukhari no. 2996

[16] HR. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir, periwayatnya shohih. Lihat Majma’ Az Zawa’id

[17] Lihat Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84

[18] Tajridul Ittiba’, hal. 89. Untuk pembahasan pada point ini, kami berusaha sarikan dari kitab tersebut.

[19] Diriwayatkan oleh An Nasa-i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Al Hadits Ash Shohihah 580.

[20] Zaadul Ma’ad, 1/456, Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat, 1407 H. [Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth, ‘Abdul Qadir Al Arnauth]

[21] Zaadul Ma’ad, 1/311

[22] Latho-if Al Ma’arif, hal. 398.

[23] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah

[24] HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih

Manakah, Engkau Pilih?

Saudaraku.... rohimahullah.

Bacalah beberapa barisan tulisan di bawah ini dan jatuhkanlah untaian maknanya di pipimu yang engkau gunakan untuk tidur..

Penulis Ihya' mengatakan: "Ketahuilah bahwasannya dosa kecil bisa menjadi besar karena beberapa sebab, di antaranya terus dan selalu melakukan. Karenanya di katakan, tidak ada dosa kecil bila di lakukan secara terus menerus dan tidak ada dosa besar bila di iringi dengan istighfar.

Satu dosa besar yang terputus dan tidak di ikuti dosa lainnya itu lebih bisa di harapkan mendapat ampunan di banding dosa kecil yang di tekuni oleh seorang hamba. Gambaran-nya demikian, tetesan air yang jatuh di atas batu secara terus menerus bisa membekas. Akan tetapi sebanyak air yang sama seandainya di siramkan sekaligus pada batu tersebut, maka tidak akan membekas. Oleh karena itu, Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ


"Perbuatan-perbuatan yang paling di cintai oleh Allah adalah yang berjalan paling lama, meskipun sedikit". (HR. Bukhori: 6464 dan Muslim: 1866)

Sesuatu itu bisa di kenal dengan kebalikannya. Bilamana amal yang bermanfa'at walaupun sedikit, maka amal banyak yang terputus tidak terlalu berguna untuk menyinari dan membersihkan hati. Demikian halnya keburukan yang sedikit, bila selalu di lakukan niscaya efeknya dalam menggelapkan hati begitu terasa". (Ihya Ulumuddin: 4/ 34)

Rehatlah sebentar...

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ


"Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kalian. kami memberi kalian minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah di telan bagi orang-orang yang meminumnya". (QS. an Nahl [16]: 66)

Kendaraan Unta
Harganya sangat mahal karena ia mampu bersabar mengarungi perjalanan panjang dengan bekal pas-pasan. Maka ia berhak dimulyakan, di hiasi dan hidupnya terhormat sampai ajal menjemput. Sedangkan unta-unta piaraan berharga murah karena ia tidak sabar dan tidak kuat menghadapi medan perjalanan. Ia makan untuk di makan dan di manja untuk di potong. Paling bentuk pemuliannya adalah tidak memperhatikan pisau kepadanya saat hendak disembelih.

Buaya
Bila ia selesai bersantap, ia membuka mulutnya lebar-lebar untuk memberi kesempatan burung pipit yang kecil yang kecil mencari sisa-sisa makanan di antara sela-sela giginya, karena khawatir ulat melubanginya. Sebagian orang giginya sudah lama di lubangi ngengat tanpa mau mengizinkan seorang pun mengambil pangkal penyakit. Ia tidak seperti buaya, pun tidak meniru burung pipit. Saudaraku bila engkau bukan inisiator, jadilah pemberi respon. Jika engkau tidak pandai berkhutbah, maka hadirilah untuk mendengarkan khutbah. Jika engkau tidak bisa menyampaikan kajian, maka ikutilah kajian. Jika engkau tidak cakap memperbaiki orang lain, maka jangan gengsi bila orang lain memperbaiki dirimu.

Merpati pos
Apabila ia di lepas tuannya untuk menyampaikan sepucuk surat, maka ia mengarungi lautan terik panas matahari. Ia terbang siang dan malam tanpa mempedulikan angin, hujan, petir dan kilat yang menghalanginya. Ia terbang tinggi agar tidak terkena anak panah pemburu. Ini pun, ia masih harus menahan diri untuk tidak turun memungut biji gandum yang di tebarkan demi menghindari perangkap yang bisa menghambat perjalanan atau mematahkan sayap, sehingga surat tersia-siakan. Setelah menyerahkan surat, ia bebas terbang ke angkasa, memakan apa pun yang di inginkannya. Wahai pembaca risalah penghambaan kepada Alloh subhanahu wa ta'ala, apa yang telah engkau arungi? Setinggi apa engkau naik? Jebakan penghambat apa yang telah engkau waspadai? Celaka kamu. Satu celupan di surga mampu melupakan kepedihan sepanjang usia. Sekejap waktu di surga lebih baik di banding dunia dan seisinya. Kenapa masih ragu?

Kucing
Jika sekali saja engkau berbuat baik kepadanya, maka setiap kali ia melihatmu, maka ia akan bersikap manja dan menggosok-gosokkan dirinya kebajumu. Sedangkan engkau, setiap partikel dalam tubuhmu menyaksikan kebaikan kami dan setiap helai rambut di badanmu di liputi nikmat-nikmat kami. Namun begitu, setiap kali kami membuatmu mencintai kami, engkau malah membenci kami. Setiap kali kami mendekatkanmu kepada kami, maka engkau malah mencintai selain kami. Setiap kali kami menjalin hubungan denganmu, maka engkau malah bersikap kasar kepada kami. Engkau memusuhi kami, padahal engkau sangat membutuhkan kami. Kami mengajakmu berdamai, meskipun kami sangat tidak membutuhkan dirimu. Tidaklah engkau belajar dari binatang, wahai pemilik hati yang linglung. Jangan merasa paling mampu! Sungguh, Qobil belajar mengubur saudaranya dari seekor burung gagak dan Saulaiman mengetahui berita tentang Bilqis dari burung Hud-hud.

Semut
Kendati bertubuh kecil dan lemah, di musim panas ia sanggup membawa makanan yang beratnya jauh diatas berat tubuhnya sebagai persediaan di musim dingin. Nikmatnya makanan di musim panas tidak membuatnya terlena dari mengumpulkan makanan untuk persediaan musim dingin, karena ia tahu begitu ganasnya lapar di musim ini. Pun, lantaran ia bisa mengambil pelajaran dari banyaknya yang binasa di musim ini. Saudaraku, pahamilah dunia ini sebagai musim panas dan akhirat sebagai musim dingin. Memang sedikit orang yang bisa mengambil pelajaran. Semoga Allah melimpahkan rohmatNya kepada kita semua, amin.

Keledai
Ia akan berjalan pulang kerumah di malam gulita da tetap tak tersesat. Bila ia di lepas, ia bisa sampai ke rumah tanpa ada penuntun. Masih lagi, ia bisa membedakan antara suara aba-aba berhenti dan aba-aba berajalan. Wahai orang yang kehilangan jalan kesurga, wahai orang yang tidak sanggup membedakan suara penyeru surga dan penjual neraka, dalam cita-cita, engkau belum sepadan dengan keledai. Bila paham, maka engkau lupa doro. Semakin engkau dekat dengan kubur, maka bertambah pula kelesuanmu beramal. Dekatnya ajal menambah angan-anganmu. Seringnya engkau memakamkan orang-orang terpandang tidak sanggup memalingkan dari menggapai keterpandangan. Duhai, betapa banyak kita menzholimi kawanan keledai.

Jalalah
Yaitu, setiap hewan darat yang boleh dimakan dagingnya, namun ia mengkonsumsi makanan najis, sehingga dagingnya menjadi kotor. Para ulama' fiqih mengharamkan mengkonsumsi dagingnya sebelum dikarantina selama 40 hari. Dalam masa karantina ini, ia hanya mengkonsumsi makanan yang baik agar dagingnya menjadi baik dan halal di makan. Kebanyakan manusia tenggelam dalam keharaman, sehingga keadaanya rusak dan dagingnya kotor. Betapa mereka sangat membutuhkan karantina sebagaimana jalalah; agar mereka hanya mendengar ucapan-ucapan baik dan mengamalkan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sampai ruh dan jiwa mereka bersih serta suci. Dengan demikian, mereka berhak masuk ke dalam surga yang tidak dihuni kecuali oleh, "Orang-orang yang di wafatkan dalam keadaan baik oleh pada Malaikat" (QS. an-Nahl [16]: 32). Saat itulah, indra dengar mereka riang mendengarkan 'nyanyian' kekal para malaikat, "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masukilahsurga ini, sedang kamu kekal didalamnya". (QS. az-Zumar [39]: 73)

Sebagian orang ibarat binatang berkulit manusia, hewan bermuka manusia. Ada yang berwatak keledai; mengitari gilingannya tanpa mau selangkah maju ke depan. Menceraikan akhirat dan memperistri dunia. Kokoh di siang hari, namun rapuh di malam hari. Maha suci Dzat yang mengangkat binatang satu derajat di atasnya, sebab binatang bermanfa'at bagi makhluk lainnya sementara ia tidak berguna bagi dirinya sendiri, terlebih bagi orang lain. Bukankah aku sampaikan kepadamu firman Allah subhanahu wa ta'ala:

إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا


"Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)". (QS. al Furqaan [25]: 44)

Ada yang seperti ulat sutra, mati di tengah-tengah tenunannya. Kelembutan sikapnya terhadap hawa nafsu begitu mengagumkan. Persaudaraan dirinya dengan setan demikian erat. Berupaya membunuh diri sendiri dengan kedua tangannya dan berjalan menuju neraka dengan langkah-langkah mantap. Semboyan mereka dalam hidup ini adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala:

يُهْلِكُونَ أَنْفُسَهُمْ


"Mereka membinasakan diri mereka sendiri". (QS. at Taubah [9]: 42)

Ada yang seperti burung unta; menyembunyikan kepalanya di dalam pasir. Ia mengira tidak ada yang melihat kefasikan dan perbuatan dosanya. Menganggap tidak pernah membunuh, sementara darah para korban melumuri kedua tangannya. Mengaku tidak mencuri, sementara sidik jarinya memenuhi TKP (tempat kejadian perkara). Ia berbalutkan busana takwa, sementara sisa-sisa alkohol menetes dari mulutnya. Orang-orang seperti ini seperti yang disampaikan oleh Allah subhanahu wa ta'ala:

يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ


"Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka Hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar". (QS. al Baqarah [2]: 9)

Ada yang berkarakter seperti bunglon. Bergabung dalam majelis orang-orang sholih untuk mendengarkan surat Al-A'rof dan Hud, tapi ia juga menyukai kumpulan orang-orang tholih (buruk) dan merasa gembira menikmati petikan gitar dan dawai. Mereka tidak mendapat kesetiaan karena jiwa oportunis yang disampaikan oleh Allah subhanahu wa ta'ala

مُذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ لَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَلَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا


"Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan Ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya". (QS. an Nisaa' [4]: 143)

Ada yang seperti kelelawar. Senang kegelapan dan membenci cahaya. Menganggap lezat kemaksiatan dan menuduh getir ketaatan. Pemahaman-pemahamannya terbalik, karen fitroh jiwanya juga terbalik. Karenanya: "Dan apabila Hanya nama Allah saja disebut, kesAllah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati". (QS. az Zumar [39]: 45)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semoga kita bersama dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat yang telah dikemukakan di atas. Hanya Allah yang beri taufik.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Semoga Bermanfaat (^^,)


Share from: Nurulilmi

Kiat Praktis Menggugah Semangat Sholat Subuh

Saya adalah salah satu dari ribuan umat muslim yang sering terlambat mengerjakan ibadah sholat subuh. Dengan menemukan artikel ini dan menulisnya kembali di blog ini, saya berharap bisa menambah semangat saya untuk bisa tepat waktu dalam mengerjakan sholat subuh. Semoga Artikel ini bisa bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya. Semoga Allah Ta'ala beri taufik.

TIPS: Menggugah Semangat Sholat Subuh


1) Segera tidur Dan Jangan Bergadang.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Barzah rodhiallohu anhu:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ العِشَاءِ، وَالحَدِيْثَ بَعْدَهَا


"Bahwa Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam membenci tidur sebelum (sholat) Isya' dan berbincang-bincang sesudahnya". (HR. Bukhori: 568 dan Muslim: 237)

Ada beberapa kondisi yang dikecualikan dari hal ini, diantaranya yang disebutkan oleh Imam Nawawi rohimahulloh dalam syarah shohih muslim, ia berkata: "Latar belakang tidak disukainya berbincang-bincang selepas sholat Isya' karena bisa menyebabkan bergadang, sehingga lantaran kantuk yang sangat dikhawatirkan sholat malam atau sholat Shubuh, baik diwaktu bolehnya, waktu pilihan, atau pun waktu paling utamanya terlewatkan. Pembicaraan yang dilarang selepas sholat Isya' adalah seputar masalah-masalah yang tidak mengandung maslahat atau kebaikan. Adapun pembicaraan yang mengandung maslahat atau kebaikan, tidak dilarang seperti: mempelajari ilmu, mendengarkan berbagai kisah orang-orang sholih, berbincang-bincang dengan tamu, berbicara dengan mempelai wanita untuk menenangkannya, pembicaraan seseorang dengan isteri dan anak-anaknya untuk menunjukkan kelembutan atau mengutarakan keperluan, berbicara kepada orang-orang yang safar agar menjaga barang dan diri mereka, pembicaraan untuk mendamaikan manusia dan memberi mereka syafa'at dalam kebaikan, amar ma'ruf nahi munkar dan menunjukkan suatu kebikan atau hal-hal yang serupa dengannya. Semuanya tidak mengapa dilakukan selepas sholat Isya'". (Syarh An-Nawawi 'alaihis salaam Shohih Muslim: 3/157-158)

Sekarang, tahukah anda mengapa Umar bin Khoththob rodhiallohu anhu memukuli banyak orang dengan cemeti setelah sholat Isya' seraya mengucapkan: "Apakah bergadang dipermulaan malam dan tidur diakhirnya?!".

2) Menjaga Adab-Adab Tidur.

Diantara adab-adabnya: tidur dalam kondisi suci, diawali sholat sunnah dua rokaat setelah whudu', mempratekkan doa-doa sebelum tidur, berbaring miring kesisi kanan, meletakkan telapak tangan kanan di bawah wajah, membaca Al-Mu'awidzatain (surat Al-Falaq dan An-Naas) dan surat Al-Ikhlas, kemudian meniupkannya pada kedua telapak tangan dan selanjutnya mengusapkan keanggota tubuh yang terjangkau, serta membaca doa-doa tidur lainnya.

3) Menabur Kebajikan Menuai Kebaikan.

Barangsiapa tidur seusai melaksanakan amal ketaatan seperti mempercepat jalinan silaturrohmi, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, sedekah secara rahasia, menutup aib sesama muslim, amar ma'ruf dan nahi munkar, menunjuki orang yang tersesat, mengasihi anak yatim dan membantu keperluan orang yang membutuhkan, niscaya akan dibalas dengan kesempatan mengikuti sholat shubuh berjama'ah. Sebab kebaikan orang beriman itu merasa kesepian sehingga perlu mengundang kebaikan lain untuk menemaninya. Kebaikannya tidak betah sendirian.

4) Tinggalkan Keburukan, Pasti Anda Selamat!

Yaitu dengan menjaga organ tubuh dari hal-hal yang tidak halal. Contohnya: mengalihkan pandangan dari yang haram, menghindarkan lidah, pendengaran dan seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang tidak halal dilakukan. Hasan Al-Basri rohimahulloh pernah ditanya: "Kenapa kami tidak bisa bangun sholat malam?". Ia menjawab: "Kesalahan-kesalahan kalian telah mengikat diri kalian". (latho'iful Ma'arif:107)

Barangsiapa tidur setelah mengerjakan kemaksiatan berupa menghibah seorang muslim, memperbincangkan sesuatu yang bathil, melihat sesuatu yang haram, menghina orang yang butuh, menyelisihi janji, memakan yang haram atau menghianati amanah, maka ia diganjar dengan tidak bisa mengikuti sholat shubuh berjama'ah. Karena orang yang berbuat buruk dimalam hari, maka ia akan dibalas ketika siangnya. Dan orang yang berbuat buruk disiang hari, maka ia akan diganjar ketika malamnya.

5) Memanfa'atkan Qoilulah (istirahat disiang hari).

Abu Dzar rodhiallohu anhu biasa menghindari anak-anak kecil agar tidak mendengar hiruk pikuk mereka, lalu ia tidur qoilulah. Ia ditanya tentang hal tersebut dan menjawab: "Sesungguhnya jiwaku ini adalah kendaraanku. Bila aku tidak bersikap baik kepadanya, maka ia tidak mau membawaku sampai ketujuan".

Tidur qoilulah adalah sunnah Nabi sholallohu alaihi wa sallam yang dipraktikkan Abu Dzar, sebagaimana telah diajarkan kepadanya oleh guru teladan, Nabi sholallohu alaihi wa sallam. Tidak diragukan lagi bahwa tidur siang sangat berguna untuk mengistirahatkan tubuh dari kepenatan, sehingga seseorang akan mampu bangun memenuhi panggilan adzan sholat Shubuh. Bila ia belum bangun sebelumnya.

6) Saudara-Saudara Yang Baik Yang Sudi Membantu.

Mereka laksana alat senjata untuk menghadapi utusan-utusan tidur dan tentara-tentara kemalasan dibawah kepemimpinan iblis. Berpesanlah pada mereka supaya membangunkan, mengingatkan, dan memperingatkanmu. Untuk tujuan tersebut, ikuti majelis-majelis mereka dan hadiri forum-forum mereka. Barangsiapa bergaul dengan suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari mereka. Bila hatimu sakit pasti sembuh dan bila hatimu mati pasti akan hidup kembali.

Ingat, manakala Allah subhanahu wa ta'ala menghidupkan Ashhabul Kahfi, maka dia juga membangkitkan anjing mereka. Begitu pun, ketika Allah subhanahu wa ta'ala menghidupkan Uzair, maka Dia juga menghidupkan kembali keledainya.

7) Mengetahui Kedudukan Akhirat.

Andai dikatakan kepada anda: "Datanglah ketempat A pada jam tiga dini hari. Sebab, akan ada orang yang datang memberimu uang sekian ratus rupiah", apa yang anda lakukan? Tidak disangsikan, mata anda tidak bisa terpejam dan tidak bisa tidur tenang. Anda akan membolak-balikan tubuh diatas bara kerinduan dan terpanggang di atas api kegundahan. Anda menghitung jam, bahkan menit dan detik demi detik. Seolah-olah waktu yang panjang ada dihadapan anda. Dan pasti, anda akan berangkat satu jam sebelum waktunya, menunggu datangnya uang dengan penuh kerinduan.

Mana yang anda pilih; uang ratusan ribu atau surga? Pahala dunia atau pahala akhirat? Kesenangan sesaat atau nikmat abadi? Seandainya anda benar-benar mengetahui harga akhirat, pasti hati anda yang mabuk tersadar. (Hayatush Shohabah: 3/123)

8) Balas Musuhmu.

Bila sholat Shubuh bersama jama'ah terlewatkan olehmu, maka balaslah syaithon dengan balasan yang menyakitkan, agar ia takut dan tidak berani mendekatimu. Setelah sebelumnya ia mempersiapkanmu menjadi lalat dan kupu-kupu. Langkah pembalasan ini terwujud dengan berpuasa dihari engkau kehilangan sholat Shubuh, membaca Al-Qur'an lebih dari kebiasaan setiap harimu atau menunaikan ibadah apapun yang jiwa merasakan beban dan kepayahan karenanya. Semakin berat beban ibadah, semakin besar pula ketakutan syaithon. Balaslah pukulannya denngan pukulan pula, setiap kelalaian dengan kesadaran dan setiap kejerumusan dengan kebangkitan, niscaya engkau selamat dari tipu dayanya dan terbebas dari gangguannya. Jangan pernah sekali-kali engkau bersikap lembut kepadanya. Karena itu merupakan bukti kehinaan, pengecut dan awal dari kekalahan. Berikut pesan sang kepercayaan ummat, Abu Ubaidah bin Jarroh rodhiallohu anhu. Sebuah pesan yang menyuntikan harapan dalam dirimu, kendati engkau terbelenggu dosa-dosa dan dikelilingi kesalahan-kesalahan. Ia berkata: "Tangkallah kesalahan-kesalahan yang dulu dengan kebaikan-kebaikan yang baru. Andaikata salah seorang dari kalian melakukan keburukan sepenuh ruang antara dirinya dan langit, kemudian ia melakukan kebaikan, niscaya kebaikan itu turun menutupi keburukan-keburukannya dan menghilangkannya". (Hilyatul Aulia': 1/152)

Juga pesan Abdulloh bin Umar rodhiallohu anhuma, yang lebih memilih memberi nasehat dengan perbuatan dibanding dengan ucapan. Apabila Ibnu Umar rodhiallohu anhuma terlewatkan sholat berjama'ah, maka ia sholat sunnah ditambah dengan sholat yang lain untuk mengecewakan syaithon, memberinya pelajaran dan mengalahkannya.

9) Melihat Buah Kesabaran.

Barangsiapa mengetahui nikmatnya pahala, maka ia tidak akan mempedulikan pahitnya kesabaran. Orang yang berakal lagi cerdik mampu mengambil pelajaran dari segala apa yang disaksikan disekitarnya. Ia melihat roti belum menjadi putih sampai wajah pembuatnya menghitam (karena kelelahan). Mutiara tidak akan menghiasi leher kecuali setelah menghadapi bahaya menyelam kedasar lautan. Barangsiapa yang bergadang malam (untuk melakukan ibadah), maka ia akan menggapai keluhuran. Barangsiapa berlama-lama tidur, maka ia tidak akan tahan dihari tidur (dalam kubur). Daging rusa tidak halal, kecuali bila disembelih dan tidak baik untuk dimakan kecuali bila dipanggang dalam api. Sinar lilin menghancurkan dirinya sendiri. Semakin jauh perjalanan kafilah dagang, maka semakin besar pula keuntungannya. Bila harga barang mahal, maka ia akan membidik konsumen yang memiliki keinginan besar pula.

Hal ini telah disabdakan oleh sang guru kesabaran, Muhammad sholallohu alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَلَا إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ غَالِيَةٌ، أَلَا إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ الجَنَّةُ


"ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah adalah surga". (lihat shohih Jami Shogir: 6222)

Penutup
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semoga Allah membimbing kita serta memberi kemudahan bagi kita dalam melaksanakan kewajiban sholat 5 waktu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Semoga Bermanfaat (^^,)


artikel: nurulilmi

Syukur dikala Meraih Sukses

Di kala impian belum terwujud, kita selalu banyak memohon dan terus bersabar menantinya. Namun di kala impian sukses tercapai, kadang kita malah lupa daratan dan melupakan Yang Di Atas yang telah memberikan berbagai kenikmatan. Oleh karenanya, apa kiat ketika kita telah mencapai hasil yang kita idam-idamkan? Itulah yang sedikit akan kami kupas dalam tulisan sederhana ini.

Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya


Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat. Nikmat adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini harus diakui bahwa semuanya berasal dari Allah Ta'ala dan jangan berlaku angkuh dengan menyatakan ini berasal dari usahanya semata atau ia memang pantas mendapatkannya. Coba kita renungkan firman Allah Ta’ala,

لا يَسْأَمُ الإنْسَانُ مِنْ دُعَاءِ الْخَيْرِ وَإِنْ مَسَّهُ الشَّرُّ فَيَئُوسٌ قَنُوطٌ


“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat: 49). Atau pada ayat lainnya,

وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ


“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)

Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan atau kejelekan. Ia akan selalu berdo’a pada Allah agar diberikan kekayaan, harta, anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-cari. Dirinya tidak bisa merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika sudah diberi lebih pun, dirinya akan selalu menambah lebih. Ketika ia ditimpa malapetaka (sakit dan kefakiran), ia pun putus asa. Namun lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan nikmat setelah itu? Bagaimana jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah itu? Ia pun lalai dari bersyukur pada Allah, bahkan ia pun melampaui batas sampai menyatakan semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena ia memang pantas memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta'ala,

وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِنَّا مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي


“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku.”(QS. Fushshilat: 50)

Sifat orang beriman tentu saja jika ia diberi suatu nikmat dan kesuksesan yang ia idam-idamkan, ia pun bersyukur pada Allah. Bahkan ia pun khawatir jangan-jangan ini adalah istidroj (cobaan yang akan membuat ia semakin larut dalam kemaksiatan yang ia terjang). Sedangkan jika hamba tersebut tertimpa musibah pada harta dan anak keturunannya, ia pun bersabar dan berharap karunia Allah agar lepas dari kesulitan serta ia tidak berputus asa.[1]

Ucapkanlah “Tahmid”


Inilah realisasi berikutnya dari syukur yaitu menampakkan nikmat tersebut dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini adalah sesuatu yang diperintahkan sebagaimana firman Allah Ta'ala,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ


“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh Dhuha: 11)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ ، وَتَرْكُهَا كُفْرٌ


“Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jaami’ no. 3014).

Lihat pula bagaimana impian Nabi Ibrahim tercapai ketika ia memperoleh anak di usia senja. Ketika impian tersebut tercapai, beliau pun memperbanyak syukur pada Allah sebagaimana do'a beliau ketika itu,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ


“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39).

Para ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di pagi ini?” Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah bagi Allah).”[2]

Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah dengan tahmid (alhamdulillah) atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat maslahat dan bukan karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia malah melakukannya dengan sombong, maka ini adalah suatu hal yang tercela.[3]

Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan


Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal di atas yaitu mengakui nikmat tersebut pada Allah dalam hati dan menyebut-nyebutnya dalam lisan, namun hendaklah ditambah dengan yang satu ini yaitu nikmat tersebut hendaklah dimanfaatkan dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat.

Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al Qur’an, jangan sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang diperoleh oleh seorang hamba malah dimanfaatkan untuk maksiat, maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur.

Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: [1] mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan).

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَأَنَّ الشُّكْرَ يَكُونُ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ


“Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.”[4]

Merasa Puas dengan Rizki Yang Allah Beri


Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai haditsnya. Ibnu Az Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia mengatakan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »


“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)

Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar adalah selalu bersyukur dengan nikmat dan rizki yang Allah beri walaupun itu sedikit. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ


“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)

Dan juga mesti kita yakini bahwa rizki yang Allah beri tersebut adalah yang terbaik bagi kita karena seandainya Allah melebihkan atau mengurangi dari yang kita butuh, pasti kita akan melampaui batas dan bertindak kufur. Allah Ta'ala berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ


“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[5]

Patut diingat pula bahwa nikmat itu adalah segala apa yang diinginkan seseorang. Namun apakah nikmat dunia berupa harta dan lainnya adalah nikmat yang hakiki? Para ulama katakan, tidak demikian. Nikmat hakiki adalah kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Tentu saja hal ini diperoleh dengan beramal sholih di dunia. Sedangkan nikmat dunia yang kita rasakan saat ini hanyalah nikmat sampingan semata. Semoga kita bisa benar-benar merenungkan hal ini.[6]

Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur


Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena keutamaan orang yang bersyukur amat luar biasa. Allah Ta'ala berfirman,

وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ


“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imron: 145)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ


“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".” (QS. Ibrahim: 7)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai bersyukur pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang engkau beri".
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baca juga artikel sebelumnya: Disaat Impian Belum Terwujud untuk lebih bisa memaknai arti "syukur dikala meraih sukses".

Hanya Allahyang beri taufik.

semoga bermanfaat (^^,)


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel rumaysho.com

Kerja adalah Sebuah Kehormatan

Sebuah Pidato Seorang Karyawan di Bekasi


Selamat siang bapak / ibu,

Nama saya sudibyo dari Production control. Pada kesempatan kali ini saya akan berpidato dengan tema KERJA ADALAH SEBUAH KEHORMATAN. Seperti yang kita ketahui PT NOK sudah berdiri 12 th yang lalu dimana sekarang perkembangannya sudah sangat Baik. Pada waktu saya pertama bergabung di NOK sekitar 10 th lalu dimana karyawan masih berjumlah 300 orang dan posisi jabatan saya masih sebagai operator begitu banyak pengalaman sedih dan senang yang saya alami sampai dengan saat ini. Sampai kadangkala sering membuat saya putus asa atas ketidak adilan yang saya terima atas hasil dari pekerjaan yang saya lakukan, sampai akhirnya saya disadari oleh seorang teman yang memberikan nasihat berupa cerita .. yang sampai saat ini saya pakai sebagai penambah sprit apabila saya mulai mengalami keputus asaan dalam bekerja. Ceritanya seperti ini.

Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan. Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, “Pak mau beli kue, Pak?” Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab “Tidak, saya sedang makan”. Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab: “Tidak dik saya sudah kenyang”.

Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda. Mungkin anak kecil ini berpikir “Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang di rumah”. Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini.

Saat pemuda tadi beranjak pergidari warung tersebut anak kecil penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan. “Pak mau beli kue saya?”, pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp 2000,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja. “Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik”.

Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasihkan kepada orang lain. “Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?". Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, “Saya sudah berjanji sama ibu di rumah,ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis. Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis”.

Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang anak yang sudah punya etos kerja bahwa “kerja itu adalah sebuah kehormatan”, kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja di hadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang. Suatu pantangan bagi ibunya, bila anaknya menjadi pengemis, ia ingin setiap ia pulang ke rumah melihat ibu tersenyum menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.

Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu “kerja adalah sebuah kehormatan”, ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik.

Makna yang bisa diambil :
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kerja bukanlah masalah uang semata, namun lebih mendalam mempunyai sesuatu arti bagi hidup kita. Kadang mata kita menjadi “hijau” melihat uang, sampai akhirnya melupakan apa arti pentingnya kebanggaan profesi yg kita miliki.

Bukan masalah tinggi rendah atau besar kecilnya suatu profesi, namun yang lebih penting adalah etos kerja, dalam arti penghargaan terhadap apa yang kita kerjakan. Sekecil apapun yang kita kerjakan, sejauh itu memberikan rasa bangga di dalam diri, maka itu akan memberikan arti besar.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Begitulah cerita ini saya ingat selalu sehingga saya bisa bekerja tanpa keputus asaan lagi, dan saya. Tetap berharap bisa maju bersama NOK sampai masa pensiun saya nanti. Terima kasih NOK, jayalah Selalu. Dan terima kasih kepada temanku yang telah memberikan cerita ini. Demikian pidato ini saya sampaikan mungkin bisa berguna bagi kita semua. Terimakasih

Rebell Says:
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Cerita yang memberikan Inspirasi & Motivasi bagi saya. Thanks."
Semoga Bermanfaat (^^,)


Share : syntaxerror

Ketika Amalan Tercampur Riya dan Keinginan Dunia

Amalan yang Tercampur Riya’



  1. Jika riya’ ada dalam setiap ibadah, maka itu hanya ada pada orang munafik dan orang kafir.

  2. Jika ibadah dari awalnya tidak ikhlas, maka ibadahnya tidak sah dan tidak diterima.

  3. Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tujukan ibadahnya pada makhluk, maka pada saat ini ibadahnya juga batal.

  4. Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tambahkan dari amalan awalnya tadi kepada selain Allah –misalnya dengan ia perpanjang bacaan qur’annya dari biasanya karena ada temannya-, maka tambahannya ini yang dinilai batal. Namun niat awalnya tetap ada dan tidak batal. Inilah amalan yang tercampur riya.

  5. Jika niat awalnya sudah ikhas, namun setelah ia lakukan ibadah muncul pujian dari orang lain tanpa ia cari-cari, maka ini adalah berita gembira berupa kebaikan yang disegerakan bagi orang beriman, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.[1]



Beramal Akhirat untuk Mendapatkan Dunia



Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

[Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama.[2]

Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:

[Pertama] Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.

Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.

[Kedua] Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ


“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.[3]

Sebenarnya jika seseorang ikhlas dalam beramal tanpa mengharap-harap dunia, maka dunia akan datang dengan sendirinya. Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ


“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.”[4]

Penutup


Bagaimana Cara Agar Ikhlas?

  1. Mendalami ilmu ikhlas dan riya’.

  2. Mengenal nama dan sifat Allah dan lebih mendalami tauhid.

  3. Selalu memohon kepada Allah agar dimudahkan untuk ikhlas dalam setiap amalan.

  4. Berpikir bahwa dunia ini akan fana.

  5. Takut mati dalam keadaan su’ul khotimah (akhir yang jelek) dan takut terhadap siksa kubur.

  6. Memikirkan kenikmatan surga bagi orang-orang yang berbuat ikhlas.

  7. Mengingat siksa neraka bagi orang-orang yang berbuat riya’.

  8. Takut akan terhapusnya amalan karena riya’.

  9. Semangat dalam menyembunyikan amalan, rutin dalam melakukan shalat malam dan puasa sunnah.

  10. Meninggalkan rasa tamak pada apa yang ada pada manusia.

  11. Memiliki waktu untuk mengasingkan diri dan menyendiri untuk beramal.

  12. Bersahabat dengan orang-orang sholih yang selalu ikhlas dalam amalannya.

  13. Membaca kisah-kisah orang yang berbuat ikhlas.

  14. Sering muhasabah atau introspeksi diri.

  15. Mengingat bahwa setan tidak akan mengganggu orang-orang yang berusaha untuk ikhlas.[5]


Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menjadi orang-orang yang berbuat ikhlas dalam beramal. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.com